"Selamat Datang Di Blog KOMPAKS, Blognya Cah-Cah Pekalongan Di Mesir"

Balada Perjalanan Haji Mahasiswa Perantau di Mesir Th. 2008

Posted by KOMPAKS Friday, November 11, 2011

Oleh: Agus Khamid Baidlowi, Lc. 
(Anggota Kompaks yang berstatus sebagai mahasiswa Al-Azhar Cairo Fak. Ushuluddin Hadits)

Masyarakat Indonesia umumnya mengira para mahasiswa yang belajar di jazirah Arab akan dengan mudah menunaikan haji setiap tahun, seperti layaknya berwisata tahunan. Anggapan itu salah besar. Saya, yang telah empat tahun belajar di universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, baru mendapat kesempatan mengunjungi baitullah setelah menunggu cukup lama, sembari mengumpulkan dana untuk berhaji, yang jumlahnya cukup besar bagi mahasiswa yang mengandalkan beasiswa seperti saya.

Di Mesir, pengurusan ibadah haji tidak dilakukan oleh pemerintah, seperti halnya Kementerian Agama di Indonesia. Di sini, segala urusan diserahkan kepada pihak swasta, sehingga kemungkinan terjadi kartel sangat terbuka. Akibatnya, biaya haji terbilang tinggi, mencapai $3000 untuk kelas ekonomi, hingga $6000 untuk kelas VIP.

Kami para mahasiswa, cukup mendapat keringanan dengan membayar 'hanya' sekitar $1650 Dollar USA. Angka itu adalah biaya yang ditetapkan untuk membayar transportasi dan administrasi haji. Penginapan, makan, dan segala perlengkapan haji, termasuk pembayaran denda ataupun hewan kurban, diurus oleh masing-masing jamaah haji.

Tingginya biaya berhaji, membuat tak semua masyarakat mesir dapat menunaikan rukun Islam kelima itu. Bahkan, seperti halnya di Indonesia, panggilan "pak haji atau ibu hajjah," atau disini disebut "ya hajj dan ya hajjah" sangat prestisius.

Perjalanan dengan Kapal laut

Jamaah haji asal Mesir, dapat memilih dua jenis alat transportasi, melalui jalur udara atau jalur laut. Saya sendiri memilih kapal laut, dengan beragam alasan.

Perjalanan dimulai pada Jumat malam sekitar pukul 22.00 WK (Waktu Kairo). Di pelataran Suq Sayarah (tempat jual beli mobil di Madinat Nasr Kairo), berjajar lima bus eksekutif yang akan membawa 200 mahasiswa yang hendak bertolak ke pelabuhan Safaga, sebelum kemudian berpindah ke kapal laut menuju Jeddah-Makkah-Madinah.

Perjalan dari pelabuhan Safaga menuju pelabuhan Jeddah membutuhkan waktu sekitar 37 jam atau sekitar 1 hari dua malam. Dalam perjalanan menuju Jeddah, kami menikmati pemandangan Laut Merah yang begitu indah dengan cuaca yang lumayan dingin. Setelah seharian kita di kapal, waktu menunjukkan pukul 02.00 suara dari tempat informasi berkumandang; "Para penumpang kapal yang budiman, kita telah memasuki miqot haji Juhfah". Informasi itu menandakan bahwa kami harus segera bergegas mengganti baju dengan kain ihram.
Pukul 09.00, kami telah sampai di pelabuhan Jeddah. Lima jam kemudian, seluruh anggota rombongan telah mulai menginjak tanah Makkah al-Mukarromah. Oleh pengelola travel perjalanan, kami disewakan sebuah penginapan sederhana di daerah Misfalah. Namun saya tidak memanfaatkan fasilitas tersebut, karena saya memilih bergabung dengan jamaah haji asal Indonesia.

Saat Tiba di Tanah Suci Mekkah

Setelah menempuh perjalanan panjang melalui jalur laut, dan alhamdulillah puji syukur saya telah sampai di Makkah, menjejakkan kaki di Masjidil Haram yang indah, air mata saya deras mengalir tak tertahan. Sungguh bergetar hati saya menyaksikan dan merasakan atmosfer masjid yang sebelumnya hanya bisa saya pandangi dari gambar-gambar dan siaran televisi.

Tanpa menyiakan waktu, segera saya bergegas mengambil wudhu, lantas menunaikan Thawaf mengelilingi Ka'bah. Dilanjutkan lari-lari kecil ke bukit Shofa-Marwah untuk Sa'i, dan memangkas sedikit rambut sebagai penyempurna Umrah pertama saya di tanah suci.

Lelah setelah menempuh perjalanan jauh disambung dengan Umrah, saya pun dengan cepat terlelap. Di hari kedua, seakan 'maruk', saya kembali memanfaatkan waktu dengan menunaikan ibadah Umrah, bahkan hingga dua kali berturut-turut.

Hari ketiga di Makkah, saya memutuskan meninggalkan penginapan yang disediakan pengelola travel dari Mesir untuk para mahasiswa. Sesuai pesan Ibunda tercinta, saya hendak bergabung dengan jamaah haji asal Indonesia, dan terutama, menemui Budhe yang tengah menunaikan ibadah haji.

Tak sulit menemukan jamaah haji asal Indonesia. Diantar taksi, saya telah menemukan maktab pemondokan jamaah haji asal Pekalongan, kampung halaman saya. Beruntung, saya diijinkan bergabung di maktab, setelah meminta ijin secara khusus kepada pembimbing KBIH yang mendampingi jamaah. Secara kebetulan, pembimbing haji yang saya temui tak lain adalah KH Kholil Muhdlor, alumni sebuah universitas di Madinah, yang juga guru bahasa Arab saya di Madrasah Aliyah Simbang Kulon, Pekalongan.

Jadi Pengawal dan Tukang Menawar

Budhe saya yang sudah menanti kedatangan keponakan tercinta, segera menyambut dengan hangat. Saya segera menghaturkan salam dan melepaskan kangen.

Selama tinggal di maktab jamaah haji Indonesia, seringkali saya didaulat menjadi pengawal untuk menemani para jamaah menunaikan ibadah. Berbekal kemampuan bahasa Arab yang cukup memadai, saya juga diandalkan untuk menawar barang-barang yang ingin dibeli para jamaah sebagai buah tangan. Jamaah haji asal Indonesia memang doyan berbelanja, he-he-he.

Berkali-kali menunaikan ibadah Umrah, tibalah waktu haji ditunggu-tunggu. Tanggal 9 Dzulhijjah, yang disebut juga Hari Arafah, adalah saat terpenting dalam pelaksanaan ibadah haji. Ibadah Wukuf, yakni berdiam di padang Arafah, merupakan merupakan salah satu Rukun Haji yang tidak dapat ditinggalkan ataupun ditukar dengan denda. Apabila jamaah haji tidak dapat melaksanakan Wukuf, maka hajinya tidak sah dan batal.
Hari Arafah merupakan hari yang mustajab. Saat Wukuf, jamaah haji hendaknya mengisi waktu dengan memperbanyak Talbiyah, Dzikir, Istighfar, Takbir, Tahlil dan Tahmid serta berdoa untuk dirinya, anak, orang tua, saudara dan kerabat muslim lainnya. Labbaik Allahumma labbaik....

Selesai wukuf saat terbenamnya matahari, kami, seluruh jamaah haji dari seluruh belahan dunia, bersiap-siap meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah sebelum tengah malam.

Malam itu, tanah Muzdalifah yang begitu luas dipadati oleh jamaah haji yang berpakaian ihram serbaputih. Di sini, jamaah haji menunaikan salah satu rukun haji, yakni Mabit atau bermalam di Muzdhalifah, sambil mengumpulkan 63 kerikil untuk ritual Lempar Jumrah keesokan harinya. Lewat tengah malam, jamaah haji segera bertolak ke Mina guna melempar Jumrah Aqobah.
Secara keseluruhan, seluruh ritual pelaksanaan ibadah haji berjalan mulus lancar tanpa hambatan berarti. Justru, masalah besar terjadi saat saya sedang menziarahi makam Rasulullah Muhammad SAW di Madinah. Sempat berdebat dengan kaum Wahabi yang saya temui di Masjid Nabawi, saya pun digelandang ke kantor polisi.

Digelandang ke Polisi di Masjid Nabawi

Ibadah haji di Makkah berjalan lancar, tanpa ada halangan suatu apa. Sebelum bertolak kembali ke Kairo, Mesir, saya berniat mengunjungi "rumah" baginda Nabi Muhammad SAW, makhluk terhebat dan termulia di jagad raya ini. Di sinilah 'tragedi kecil' itu terjadi, saya digelandang ke kantor polisi setelah berdebat panjang dengan kaum Wahabi.

Saya berangkat ke Madinah bersama rekan-rekan mahasiswa jamaah haji asal Mesir. Di sana, kami menyewa losmen sederhana sebagai tempat tinggal dengan biaya bersama, secara patungan. Hari pertama di Madinah, saya pun langsung bergegas menunaikan sholat jamaah di Masjid Nabawi, dan setelah itu saat yang ku tunggu-tunggu yakni menziarahi raudlah sayidina Rasulullah saw.

Tangis bahagia tak terbendung, mengiringi syukur tak terhingga dapat mengunjungi Rasulullah.
Saya tinggal di Madinah kurang lebih 5 hari. Di hari ketiga, saya kembali berjumpa dengan rombongan jamaah haji asal Indonesia. Bertemu kembali dengan budhe, saya didaulat menjadi pengawal untuk mengantar beliau beserta beberapa kawan menziarahi makam Rasul.

Di sinilah aku mendapatkan pengalaman berharga yang tidak akan bisa terlupakan seumur hidupku atas perlakuan orang-orang Wahabi yang memiliki kepercayaan berseberangan dengan saya. Begini ceritanya.
Setelah saya mengantarkan budhe dan jamaah lainnya persis di samping pintu keluar dari makam, saya segera memimpin doa yang diamini oleh segenap jamaah. Di saat kami khusyu melantunkan doa, tiba-tiba seorang petugas penjaga masjid mendatangi kami, menegur dengan keras, "Wahai saudaraku, haram berdoa menghadap raudloh Rasulullah. Berdoalah menghadap kiblat!"
Saya masih terus berdoa, mencoba tidak menghiraukan ucapannya. Setelah petugas tersebut mengulangi ucapannya hingga 3 kali, dengan nada bicara semakin keras, saya pun menghentikan doa dan menanggapi tegurannya.
"Wahai saudaraku, kenapa kita tidak boleh berdoa menghadap raudlah Rasulullah? Bukankah Allah itu Maha Mendengar atas segala penjuru arah, tidah hanya arah kiblat saja," jawabku.
Mendengar jawabanku, petugas itu tak mau kalah. Kami pun terlibat perdebatan sengit. Saat dia tak lagi dapat menjawab bantahan-bantahan yang saya lontarkan, dia meminta bantuan rekannya. perdebatan terus berlanjut. Akhirnya, merasa kewalahan, kedua orang tersebut marah dan merasa dipermalukan. Saya dituduh menghina mereka, lantas dipanggillah seorang polisi untuk menangkapku.

Oleh polisi, saya digiring ke tempat khusus, diinterogasi oleh sekitar 10 orang Polisi Adab. Saya dihujani berbagai macam pertanyaan yang menyangkut akidah. Dengan santai, saya coba menjawab berdasar pengetahuan yang saya dapat selama menimba ilmu di Jurusan Ushuluddin, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Namun curang, seringkali jawaban saya dipotong sebelum sempat terjawab sempurna.

Selama hampir satu jam saya 'dikeroyok'. Bukan hanya itu, intimidasi semakin keras karena kartu maktab dan fotokopi paspor saya turut ditahan. Bahkan, saya diancam akan diadukan ke pengadilan atas dalih penghinaan, yang minimal hukumannya penjara bawah tanah.

Berpikir panjang, akhirnya saya memilih "mengalah". Saya mengiyakan saja semua yang mereka katakan, berharap segera diperbolehkan keluar dari tempat itu. lebih baik mengalah daripada terus berdebat kusir yang tidak berimbang.

Akhir yang Indah

Di hari berikutnya, justru Allah mempertemukanku dengan orang saleh dari Sudan.Umurnya sudah di atas 50 tahun. Beliau dengan kerendahan hatinya menghampiriku dan mengajak berbincang-bincang masalah agama dengan berbahasa Arab fasih. Orang itu sungguh sangat mencintai baginda rasulullah dan ahli baitnya (para wali Allah). Beliau banyak menanyakan hal-hal penting kepadaku tentang kelimuan agama Islam, baik tentang aqidah, fiqih dan tasawuf, karena beliau ternyata seorang salik dari tarekat Qadiriyah (Syeikh Abdul Qodir Jailani). Beliau sungguh sangat takjub dengan jawaban-jawaban yang saya berikan. Tak terasa sudah tiga jam lebih berbincang-bincang dengan beliau, dan diakhir perbincangan beliau bertanya kepadaku; "Dari mana pemahaman ilmu-ilmu baru dan luar biasa yang telah anda paparkan kepadaku, saya ingin berguru kepada orang saleh yang mengajarimu?" Aku jawab: "Itu semua adalah  ilmu-ilmu penting yang aku dapatkan dari seorang guru sejatiku di Mesir, beliau adalah guru spiritualku, semoga anda diberi anugerah mendapatkan kesempatan untuk berguru kepada beliau". Saya merasa puas dan bersyukur, karena Allah telah mempertemukanku dengan orang tersebut. Semoga dikesempatan yang lain kita bisa di pertemukan lagi.

Pada hari ke-4 saya bersiap-siap untuk mengurus pasporku di kantor imigrasi Madinah untuk segera pulang kembali ke negara Mesir tercinta. Lima hari di Madinah benar-benar saya puasin untuk beribadah dan berziarah ke raudlah rasulullah setiap harinya, dan tak lupa juga menziarahi Maqbarah Baqi’ (tempat dimakamkannya para sahabat rasulullah dan juga para syuhada sabilillah).

Tibalah hari akhirku menginjakkan kaki di tanah Madinah. Hari itu saya berpamitan kepada seluruh rombongan haji dari Pekalongan untuk segera kembali guna melanjutkan studi mengais ilmu di bumi kinanah Mesir.

Al-hamdulillah, akhirnya saya dan seluruh mahasiswa jamaah haji dari Mesir dengan transportasi kapal laut, tiba dengan selamat tanpa ada halangan sekecil apapun. Tiada kata yang bisa saya ucapkan kecuali puji syukur atas anugerah yang telah Allah berikan kepadaku dalam menunaikan ibadah haji yang mulia ini, sehingga bisa menikmati dan melihat tanda-tanda kebesaran-Nya di dua tanah suci Mekkkah dan Madinah. Semoga semua amal ibadah yang telah saya kerjakan, diterima di sisi Allah, menjadi ibadah haji mabrur, yang tiada balasannya kecuali surga dan ridlo-Nya. Amien.


*) Cerita ini pernah dimuat di website Suara Merdeka rubrik "Liputan Haji", dalam 3 seri;
Seri 1.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/haji/haji_detail/20/Balada-Perjalanan-Haji-Mahasiswa-Perantau-di-Mesir
Seri 2.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/haji/haji_detail/24/Jadi-Pengawal-dan-Tukang-Menawar
Seri 3.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/haji/haji_detail/29/Digelandang-ke-Polisi-di-Masjid-Nabawi


Lainnya:

0 comments

Post a Comment

Popular Posts